Wednesday, March 28, 2012

Vitamin E dosis tinggi mencegah DM





Dr. dr. Barita Sitompul, SpJP(K). Sejak lama kita percaya bahwa penggunaan vitamin secara berlebihan tidak ada gunanya, bahkan bisa menimbulkan efek sampingan tertentu. Betulkah begitu? Ternyata tidak, bahkan, mengkonsumsi vitamin E dosis tinggi sejak dini sangat bermabfaat mencegah diabetes melitus (DM).
Demikian terungkap dari penelitian Dr. dr. Barita Sitompul, SpJP(K) selama empat tahun. Penelitian itu akhirnya memberikan gelar doktor dengan judicium cum laude dari FKUI.

Dirumahnya, jalan Teuku Cik Ditiro, Menteng, yang sekaligus menjadi tempat praktiknya, Barita menemui Ethical Digest dengan tangan terebuka meski masi terkesan lelah, setelah sehari sebelumnya (28 April 2004) ia mempertahankan disertasinya yang berjudul “pengaruh pemberian vitamin E terhadap fungsi endotel aorta tikus diabetes”.

Ada sesuatu yang unik tentang pria kelahiran Jakarta ini. Berawal dari hibinya mengutak-utik mesin, ia merancang sendiri ruang prakteknya agar lantai tempat pasien berdiri dapat naik dan turun sendiri dengan sistem hidrolik. “Ini saya buat untuk memudahkan pasien, sehingga mereka tidak perlu merendahkan badan atau merasa pendek ketika akan dirontgen,” ujar kakek bercucu satu ini. Keterampilannya ini juga telah membantunya dalam melakukan penelitian yang memakan waktu dua tahun.
“Seperti kata rekan doktor lain memang ini suatu perjuangan yang berat. Akhirnya, saya bisa menuntaskan penelitian yang sempat terhenti selama sembilan bulan,” katanya mengenang perjuangan yang berat untuk menyelesaikan penelitiannya. Bagaimana tidak, penelitian yang telah memakan banyak waktu dan biaya itu hampir saja putus di tengah jalan. Untungnya, sebagaimana diakuinya, ia mendapat hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menyelesaikan penelitian itu.

Barita memulai profesinya sebagai spesialis jantung pada 1978 di Ruang Cardiac Emergency RSCM, kemudian bertugas di ICCU sejak 1980 sampai sekarang. Berdasarkan pengalamannya selama 26 tahun diketahui bahwa pasien DM adalah pasien yang suka “menipu”. Dalam arti, sakit jantungnya kelihatan sama beratnya, tetapi perjalanan penyakitnya lebih buruk dan komplikasinya banyak. Penelitian para ahli menyatakan penderita DM memiliki gangguan pembuluh darah yang lebih buruk.

Menurut barita, ada sebuah penelitian di Belanda yang mengungkapkan bahwa walaupun secara klinis tidak memenuhi kriteria diabetes, kadar gula yang tinggi yang dimiliki orang sudah merupakan faktor penyebab kematian yang menonjol, bahkan meskipun belum mencapai taraf diabetes.
Setelah diketahui bahwa antioksidan sangat bermanfaat bagi penderita DM, terlebih lagi setelah dikeluarkan penelitian Keegan, doktor beranak dua ini terinspirasi untuk meneliti manfaat vitamin E pada penderita diabetes.

Keegan menyebutkan bahwa setelah diamati selama 8 minggu, pemberian glukosa dengan kadar tinggi dan vitamin E dengan dosis 1.000 mg pada tikus ternyata memberikan hasil jauh lebih bagus daripada yang tidak diberi vitamin E.

Kemudian pada tahun 2000, dipublikasikan hasil penelitian Cynar yang menggunakan cara yang sama dengan Keegan, namun waktunya diperpanjang sampai 12 minggu.

Gagasan penelitian yang dilakukan Cynar itu sebenarnya sudah ada dalam benak Barita sejak 1998. Setelah membaca dengan cermat hasil penelitian itu, timbul pertanyaan dalam dirinya: bagaimana jika vitamin E diberikan dengan dosis 500 mg atau 250 mg. Keegan dan Cynar memberikan pada awal diabetes, bagaimana jika vitamin E diberikan setelah 4 atau 5 minggu dan bagaimana jika diberikan setelah endotelial sudah rusak.

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan itulah suami dari Dwi Rekiretno, SE, Akt menggulingkan penelitiannya. Ia sudah menggunakan berbagai macam objek penelitian, dari monyet sampai tikus. Ketika menggunakan monyet fokus penelitiannya pada ekspresi ICAM (Intracelullar Adhesion Molecule) dan VACM (Vascular Cell Adhesion Molecule) pada monyet yang diberikan vitamin E. Meskipun, penelitian itu dapat dikatakan berhasil, hewan-hewan itu mengalami komplikasi, yaitu ketosis (ketoasidosia).

Pengalaman yang unik dan tak pernah terlupakan saat di IPB Bogor ialah bagaimana ia harus menolong monyet-monyet yang sudah sekarat itu dengan protokol ketoasidosis untuk manusia.

Hal itu sangat berkesan karena belum ada protokol ketoasidosis untuk kera.

Lalu kemana ia sebagai kardiologist harus konsul? Syukur alhamdulillah dengan berbagai modifikasi dosis insulin dan rehidrasi banyak monyet yang dapat diselamatkan.

Selain itu masalah lainnya adalah monyet sulit diatur dan nakal, suka mencakar dan menggigit, sehingga untuk mengambil darahnya saja ia dan rekannya harus banyak memutar otak. Karena tidak punya kandang jepit, perhatian monyet harus dialihkan, lalu ekor monyet ditarik kuat-kuat dan segera disuntik ketalar agar sang kera kehilangan kesadaran. Baru setelah itu dapat dilakukan penimbangan, rekaman EKG dan lainnya. Persoalan lainnya, monyet dianggap sebagai binatang langka dan dilindungi sehingga ia menghentikan penelitian tersebut.

Setelah gagal dengan monyet, Barita tertarik menggunakan tikus sebagai objek penelitian. Ia kemudian mengamati ICAM dan VCAM tikus diabetes yang diberikan vitamin E. Kendatipun pengalamannya menggunakan tikus sebagai objek penelitian masih nol, ia bertekad melatih tangannya membelah dan memisahkan organ-organ dalam tikus untuk kemudian dimasukkan ke dalam nitrogen cair.

Mengapa harus tikus? “Pemakaian tikus sebagai objek penelitian ini bukan tanpa alasan. Ada tiga hal yang bekerja pada DM, ayitu hiperglikemia, hiperlipidemia dan hiperinsulinemia.

Tikus adalah objek penelitian yang tidak terpengaruh dengan hiperinsulinemia dan hiperlipidemia, sehingga fokus penelitian terhadap hiperglikemia dapat terus terjaga,” katanya.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penelitian itu tidak berjalan mulus. Masalah timbul ketika harus menggunakan nitrogen cair untuk menympan organ dalam tikus pada suhu minus 70 derajat celcius, padahal nitrogen cair adalah bahan kimia yang mahal harganya. Untuk mensiasati kendala ini, lalu ia mencampurkan dua senyawa (ia enggan menyebutkan senyawa tersebut) sehingga memiliki temperatur minus 70 derajat celcius dan dapat membekukan air dalam tempo 10 detik.”Ada untungnya juga melakukan penelitian ini, saya menjadi mendapat banyak ilmu baru, “ katanya.

Namun kendala yang dihadapinyapun belum surut. Vitamin E, sebagai komponen penting dalam penelitian ini, tidak mudah didapatkan bila dibutuhkan dalam jumlah besar. Untungnya, PT Landson bersedia membantunya dengan memasok vitamin E selama penelitian.

Syangnya, dalam percobaan kali inipun Barita kembali mengalami kegagalan. Tikus yang digunakan adalah berjenis wistar. Padahal, jenis ini survival ratenya sangat rendah. Sudah banyak tikus penelitiannya mengalami kematian akibat infeksi yang ditimbulkan dari poemberian vitamin E secara oral (dicekoki).

Ketika Barita mendiskusikan hal tersebut dengan seorang ahli di Belanda, ia malah ditertawakan. “Tidak ada seorang ahlipun di Eropa yang memberikan vitamin E pada tikus. Vitamin E yang diberikan secara alami melalui makanan sudah cukup,” ujarnya mengutip ucapan koleganya dari Belanda.

Semangatnya sempat runtuh kala itu. Untungnya, sebuah literatur mengenai tikus spregue dawley yang dibacanya dapat mendidihkan kembali semangatnya. Tikus jenis ini memiliki survival rate lebih tinggi. Saat itulah ia menghubungi badan POM untuk mendapatkan tikus tersebut dan mengubah topik penelitiannya menjadi efek dilatasi aorta pada tikus yang mendapatkan vitamin E dan yang tidak.

Untuk memperdalam ilmu yang berkenaan dengan penelitiannya tersebut, ia berangkat ke Malang untuk menggali ilmu lagi. Berkat bantuan Prof. Dr. Mulyo Hadi Ali, PhD, mantan Ketua Departemen Farmakologi, ia berangkat ke Malang dan belajar lebih banyak lagi.

Belum lagi hasil didapat, masalah lain muncul. Ia harus memutar otak bagaimana mencampur vitamin E 250 mg, 500 mg, dan 100 mg dengan ke dalam pakan 1.000 gram dan harus mendapat konsentrasi yang merata. Berhari-hari ia mencoba mencari pemecahannya dengan mengunjungi beberapa perusahaan farmasi. Dan, mereka semua angkat tangan.

Akhirnya, ia menghubungi Cynar untuk mendapatkan informasi bagaimana caranya mencampur vitamin E.
Namun, jawabannya yang didapatkan tidak dapat menyelesaikan masalah.

Ia tidak menyerah. Informasi dari berbagai sumber terus dicarinya. Sampai akhirnya, titi terang didapat ketika ia menghubungi Bagian Teknologi Pangan Universitas Indonesia: vitamin E harus dicampur dengan minyak goreng kemudian dengan pakan tikus.

Dari hasil penelitian itu dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu vitamin membnerikan efek perlindungan bermakna terhadap relaksasi aorta pada minggu ke 20 untuk kelompok yang telah diberikan vitamin E dari 0 minggu sampai 20 minggu. Efek perlindungan tidak didapatkan pada kelompok yang diberikan vitamin E di minggu ke 12 dengan masa pemberian 8 minggu. Pemberian dosis vitamin E antara 250 mg/kg pakan, 500 mg/pakan, 1.000 mg/kg pakan tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap relaksasi aorta. Semakin tinggi kadar vitamin E plasma, semakin baik respons relaksasi aorta.

Pemberian vitamin E, dalam hal ini d-alpha tokoferil asetat, memberi pengaruh positif terhadap peroksidasi lipid yang terlihat dengan menurunnya MDA (methylenedioxyamphetamine) plasma. Efek positif terlihat pada relaksasi aorta. Terutama apabila vitamin ini diberikan sejak awal DM atau pada saat disfungsi endotel pada minggu ke 6 pemberian d-alpha tokoferil asetat pada keadaan disfungsi endotel yang sudah parah tidak akan bermanfaat.

Bagaimana dengan dosis vitamin Epada manusia? Bagaimana dengan RDA (dosis harian yang dianjurkan).
Bisa diterima jika timbul pertanyaan “Apakah pemakaian vitamin E selama bertahun-tahun tidak menimbulkan efek negatif? Apalagi vitamin E yang larut dalam lemak banyak tertimbun di jaringan.
RDA yang dianjurkan oleh Komite Gizi Amerika adalah 15 mg/hari. Angka ini hanya berdasarkan jumlah kandungan vitamin E yang ada di dalam menu makanan sehari hari orang Amerika. Menurut penelitian di Amerika tidak dijumpai definisi vitamin E dengan menu tersebut, jadi dosis 15 mg/hari dianggap cukup. Komite tersebut tidak mempertimbangkan lebih jauh dosis vitamin E yang lebih tinggi yang mungkin dapat mencegah atau mengurangi proses penyakit lain.

Dari kepustakaan pemberian vitamin E selama 4 tahun terus menerus ternyata aman. Namun demikian penelitian pemberian vitamin E selama 10 tahun memang belum ada.

Secara umum dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai trait diabetes mungkin saja dapat memperoleh manfaat memakai suplemen vitamin E begitu mengetahui adanya gangguan pada intoleransi glukosa. Namun, diatas semua itu pilihan menjaga berat badan, hidup aktif, tidak merokok serta berolahraga teratur masih tetap merupakan pilihan utama. (Ethical Digest, vol 2, No.3 Mei 2004 halaman 64) 

No comments:

Post a Comment